Sertifikasi Guru
Sertifikasi
adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen(UU no
14 pasa 1 ayat 11). Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai
pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga
professional (UU no 14 pasa 1 ayat 12).
Sertifikasi
guru dan dosen harus selesai 10 tahun. Selembar kertas kok dibuat
repot jadi UU ! Cuplikan di atas adalah celetukan POJOK Harian Kompas,
Kamis 8 Desember 2005. Lucu dan spontan memang. Sampai saat ini (2010)
sudah berjalan lima tahun proses pemberian sertifikat yang katanya
untuk meningkatkan profesionalisme guru dan dosen, setengah perjalanan
sudah dilalui. Apakah sudah ada tanda-tanda guru dan dosen Indonesia
yang professional? Pertanyaan tersebut, sebenarnya menyiratkan adanya
persoalan mendasar dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang telah
berjalan lima tahun ini .
UU
Guru dan Dosen mengharuskan guru lebih profesional. Profesionalisme
guru ditunjukkan oleh selembar sertifikat. Untuk itu guru harus
mengikuti program sertifikasi. Pada saat UU ini disahkan oleh wakil
guru dan dosen (ratyat khusus) di DPR belum ada satu pun guru yang
memiliki sertifikat pendidik, maka saat ini, menurut UU, tidak satu pun
guru, termasuk dosen dan seorang profesor sekalipun, yang sudah
profesional! (lihat Pasal 47 Ayat 1 c, Pasal 48 Ayat 2).
Guru
wajib memenuhi kualifikasi dan sertifikasi paling lama 10 tahun sejak
berlakunya UU ini. Jika tidak terpenuhi, maka guru harus berhenti
mengajar. Kata Mendiknas saat itu, ”Sekarang ini belum ada guru yang
memenuhi ketentuan karena aturannya baru dibuat. Kita beri waktu. Jika
dalam sepuluh tahun itu masih belum ada yang memenuhi, ya apa boleh
buat. Berarti, memang dia tak memenuhi persyaratan sebagai guru dan
harus berhenti mengajar". Wow..luar biasa bayangkan kalau seorang guru
yang sudah mengabdi lama karena tidak sanggup untuk memperoleh
sertifikasi harus berhenti jadi guru…?
Tampaknya,
sertifikasi bakal dijadikan senjata pamungkas oleh pemerintah untuk
menjawab persoalan mutu dan kesejahteraan guru di Indonesia. Dengan
mengantongi "selembar kertas" sertifikat pendidik, guru diyakini akan
terdongkrak profesionalismenya dan otomatis terdongkrak pula
kesejahteraannya, karena akan menerima tunjangan profesi sebesar satu
kali gaji pokok guru negeri. Semudah itukah skenario pemerintah dapat
dilakoni oleh para guru?
Persoalannya
tidak sesederhana itu. Dari 2.777.802 guru di Indonesia (dari TK
sampai SLTA, termasuk madrasah, swasta maupun negeri) baru 34,49 % atau
sekitar 958.056 guru yang memiliki kualifikasi S-1 (data Balitbang dan
Dirjen PMPTK Depdiknas, 2004).
Guru-guru
SLTP dan SLTA lebih diuntungkan karena sebelum UU ini berlaku mereka
memang sudah diharuskan memiliki kualifikasi S-1 atau paling tidak
sarjana muda/diploma tiga (D-3). Dari 686.402 guru SLTP, 53,47% atau
sekitar 367.052 guru sudah memiliki kualifikasi S-1. Guru SLTA yang
berkualifikasi S-1 lebih tinggi lagi. Dari 312.616 guru SMA dan MA,
68,78% atau sekitar 215.005 guru berkualifikasi S-1. Di SMK dari
168.031 guru, 64,70% atau sekitar 108.711 guru juga sudah
berkualifikasi S-1. Dari 149.644 guru PAUD/TK hanya 8,46% atau sekitar
12.658 guru yang baru berkualifikasi S-1. Selebihnya adalah lulusan
sekolah pendidikan guru/SPG dan diploma/PGTK.
Guru
SD dan MI, baik negeri maupun swasta, paling tidak diuntungkan.
Sebagai kelompok guru yang jumlahnya paling banyak, yaitu 1.452.809
guru, baru 9,01% yang berkualifikasi S-1 atau sekitar 130.898 guru.
Selebihnya, sebagian besar berpendidikan SPG dan D-2. Merekalah
guru-guru yang diperlakukan tidak adil oleh UU yang seharusnya menjaga
keadilan sekaligus menyejahterakan mereka. Data diatas adalah lima
tahun lalu, saya teringat saat itu teman-teman saya berbondong-bondong
mencari perguruan tinggi hanya untuk memenuhi persyaratan sertifikasi.
Ya hanya! Karena mereka tidak peduli masuk ke mana atau perguruan
tinggi apa yang penting dapat ijazah beres. Lalu bagaimana mereka bisa
menjadi professional?
Guru
SD dan MI bukan saja harus bersusah-susah untuk meraih sertifikasi
pendidik yang disyaratkan UU, tetapi sebelumnya mereka harus berjuang
"habis- habisan" untuk meraih kualifikasi S-1 atau D-4. Meskipun
pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan dana untuk program
kualifikasi ini, kita bisa bayangkan kesulitan yang akan menghadang
para guru untuk melaksanakan program yang tidak hanya memakan waktu
yang panjang (lulusan D-2 harus menempuh dua sampai tiga tahun
pendidikan, lulusan SPG harus memulai dari awal kuliah yang
penyelesaiannya bisa mencapai empat sampai lima tahun), tetapi juga
harus berhadapan dengan persoalan kondisi fisik, keluarga, keuangan,
dan terganggunya proses pendidikan di sekolah tempat guru yang
bersangkutan mengajar.
Kita
bisa bayangkan pula persoalan tetek bengek birokrasi yang harus mereka
urus untuk memperoleh izin pendidikan dan mengurus biaya pendidikan
dari pemerintah yang tak kunjung datang. Merekalah yang akan
"dieksekusi" oleh UU Guru dan Dosen dan akan tetap terus menikmati gaji
sebulan yang hanya cukup untuk seminggu. Merekalah yang pada akhirnya
akan "pensiun pelan-pelan" bagi guru pegawai negeri sipil atau di-PHK
bagi guru swasta tanpa peningkatan kesejahteraan dan
profesionalismenya. Merekalah yang oleh Mendiknas disebut sebagai
guru-guru yang harus berhenti mengajar!
Program
sertifikasi bukan tanpa masalah. Jika pada tahun 2007 saja guru yang
berkualifikasi S-1 mencapai 1,5 juta guru, sedangkan kesempatan untuk
mengikuti program sertifikasi per tahunnya rata-rata hanya 200.000
guru, maka program ini baru akan selesai tujuh tahun kemudian. Dapat
dibayangkan perlakuan tidak adil selama enam tahun akan diterima oleh
guru yang memperoleh sertifikasi di tahun keenam dan ketujuh. Belum
lagi jika setiap tahunnya guru yang telah menyelesaikan program
kualifikasinya akan menambah jumlah daftar tunggu yang semakin panjang.
Undang-undang
ini memang tidak menjanjikan! Benar ! Apa lagi sekarang makin banyak
orang yang mengambil kesempatan dengan mengambil keuntungan dari proses
ketidak berdayaan para guru; ada makelar seminar, seminar sehari
tingkat nasional padahal pesertanya para anggota PGRI tingkat
kecamatan, ada pesan antar sertifikat yang nota bene orangnya tidak
ikut hadir dalam acara yang tertera dalam sertifikat, ada surat
keterangan palsu, ada keanggotaan fiktif, ada juara palsu dan lain-lain
yang nampak asli tapi palsu .
Belum
lagi para asesor yang punya jiwa sosial tinggi karena kasihan pada
guru ahirnya walaupun tahu banyak kepalsuan pada berkas portofolio pada
ahirnya diluluskan saja. Banyak bukti lho! Saya banyak melihat arsip
teman teman saya yang sudah dinyatakan lulus padahal kalau saya lihat
amat menyedihkan kalau kepalsuan diajadikan dasar keprofesionalan
seorang guru. Nah yang ini tanggung jawab bagian akhirat sana....
Kadang
sedih melihat kenyataan dilapangan apakah dengan sertifikasi benar
dapat membuat guru semakin professional dan mensejahterakan para guru?
Nampaknya masih jauh panggang dari api.
Kalau
boleh urun rembuk naikan saja gaji guru selanjutnya baru dibina lewat
porum atau wadah pembinaan yang selama ini ada…kasihan tuh para tutor
ngannggur. Atau oftimalkan peran para pengawas yang selama ini
seharusnya bertugas melalukan pembinaan.
Sekali
lagi di akhir tulisan ini saya merasa lucu….dan ingat pada mendiang
Gusdur yang berani menaikan gaji guru dalam persentase yang sangat
tinggi…selembar sertifikat…kok bikin repot.
Selamat
pada teman-teman guru yang sudah memiliki mio baru hasil sertifikasi
semoga uang dan harta bukan menjadi lambang keprofesionalan kita semua.
***


0 komentar:
Post a Comment